Sabtu, 05 Maret 2011

otentisitas dan otoritas al qur'an


MEMBINCANG OTENTISITAS DAN OTORITAS AL-QUR'AN*
Oleh : Abdullah Syamsul Arifin**
DEFINISI AL-QUR’AN
 Kata al-Qur'an”, adalah bahasa Arab, yang dari segi isytiqaq(derivasi)nya berasal dari akar kata qara’a yang berartai “membaca”. Ia merupakan bentuk mashdar yang berarti “bacaan” atau mashdar yang diartikan sebagai isim maf’u>l, yaitu maqru>’ berarti “yang dibaca”.[1] Kata ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Pendapat ini berdasarkan firman Allah swt. (Q.S. al-Qiyamah/75: 18)  فَاِذَا قَرأناه فاتبع قرأنه  (apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaanya). Pendapat seperti di antaranya dianut oleh al-Lihyan.
Al-Zujaj mengemukakan bahwa kata  al-Qur'an  adalah kata sifat dari al-Qar’u yang merupakan sinonim kata al-Jam’u (kumpulan). Selanjutnya kata ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw., karena al-Qur'an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.[2]
Adapula pendapat lain  yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah isim ‘alam al-Syakhsyi (nama personal) dan bukan derivasi   (kata bentukan). Dan sejak awal kata ini digunakan sebagai nama bagi kitab suci umat Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari imam Syafi’i. [3]
Adapun definisi al-Qur'an secara terminilogis adalah :
1. Menurut M.Ali al-Shabuni :[4]
"كَلَامُ اللهِ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ على خَاِتمِ الانبيآءِ والمرسلينَ بِوَاسِطَةِ الآمينِ جبريلَ عليه السلامُ  المكتوبُ في المصاحِفِ المنْقُوْلُ الينا بالتَّوَاتُرِ المُتَعَبَّدُ بتِلاوتهِ المبْدُوْءُ بسورة الفاتحةِ المُخْتَتَمُ بسورةِ النّاسِ"
Firman Allah yang memiliki kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi‑Nya yang terakhir (Muhammad SAW.), melalui al-Amin Jibril, yang ditulis pada mushaf,  diriwayatkan sampai kepada kita secara mutawatir,  membacanya bernilai ibadah, dimulai dengan surat Al‑Fatihah  dan diakhiri dengan surat An-Nas”.

2.  Menurut al-Jurjani : [5]

هُوَ المُنَزَّلُ علىالرَّسُوْلِ  المكتوبُ في المَصَاحفِ المنْقولُ عنْهُ نَقْلاً تَوَاتُرًا بِلاَ  شُبْهَةٍ

“Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan.”

3. Menurut Abu> Syahbah : [6]
"كتابُ اللهِ  عَزَّ وَجَلَّ المُنَزَّلُ على خاتِم انبيآئه محمدٍ صلىَّ اللهُ عليه وسلَّمَ  بلَفْظِهِ ومعناهُ المنقولُ بالتواترُِ المفيدُ بالقطعِ واليقينِ  المكتوبُ فى  المصاحفِ من اَوَّلِ سورة ِالفاتحةِ الى اَخِرِسُوْرَةِ النَّاسِ"
“Kitab Allah yang diturunkan baik lafadz maupun maknanya kepada nabi terakhir, Muhammad SAW., diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan serta ditulis pada mushaf dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas”.

OTENTISITAS AL-QUR'AN
Umat Islam sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang disebut al-Qur'an dan yang termuat dalam mushaf, adalah otentik (semuanya adalah betul-betul dari Allah SWT), dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW dari Allah melalui malaikat Jibril telah termuat dalam al-Qur'an. Keotentikan al-Qur'an ini dapat dibuktikan dari kehati-hatian para sahabat Nabi memelihara sebelum ia dibukukan dan dikumpulkan. Begitu pula kehati-hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan , ayat-ayat al-Qur'an berada dalam rekaman teliti para sahabat, baik melalui hapalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan ditempat yang terpisah. Ia disampaikan dan disebar luaskan secara periwayatan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Bentuk periwayatan seperti itu dinamai periwayatn secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran yang tidak meragukan. Oleh karena itu, al-Qur'an itu bersifat otentik begitu pula pada waktu pembukuan al-Qur'an di masa Abu Bakar.
Pembukuannya dilakukan secara teliti dengan mencocokkan tulisan yang ada dengan hapalan para penghapal, sehingga kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian hasil pebukuan itu disimpan secara aman di tangan Abu Bakar, lalu pindah ke tangan Umar bin Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti Umar (istri Nabi). Terakhir diadakan pentashihan pada masa kholifah Utsman sehingga menghasilkan satu naskah otentik yang disebut "Mushaf Imam". Salinan dari naskah (mushaf) itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang selain dari itu, dibakar. Mushaf imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi perbanyakan dan pentashihan berikutnya, sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai waktu ini. Inilah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya  pada surat al-Hijr ayat (15): 9:
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحفظون ( الحجر :9)
"sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."

Bukti-bukti dari al-Qur'an sendiri
Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada baiknya saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syiah konteporer, Muhammad Husein al-Thabathaba'iy, yang menyatakan bahwa sejarah al-Qur'an demikian jelas dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum muslim sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya al-Qur'an tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya.  Kitab suci tersebut - lanjut Thabathabaiy - memperkenalkan dirinya sebaga firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapapun untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti bahwa al-Qur'an yang berada ditangan kita sekarang adalah al-Qur'an yang turun kepada Nabi SAW. tanpa pergantian atau perubahan - tulis Thabathaba'iy lebuh jauh - adalah perkaitan dengan sifat dan ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.[7]
Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyat Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam al-Qur'an sendiri terdapat bukti-bukti sekaligus jaminan akan keontetikannya.[8]
Huruf-huruf hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam al-Qur'an adalah jaminan keutuhan al-Qur'an sebagaimana diterima Rasulullah SAW. tidak berlebih dan atau berkurang satu huruf pun dari kata-kata yang digunaka oleh al-Qur'an. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i) sm All(a)h AlR(a)hm(a)n AlR(a)him. (huruf a dan i dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahasa Arab). Demikian pula masing-masing kata  yang menghimpun Basmalah tersebut, kesemuanya habis dibagai 19. Kata Ism terulang sebanyak 19X, kata Allah sebanyak 2698 X, sama dengan 142 X 19, sedangkan kata Al-Rahman sebanyak 57X sama dengan 3 X 19, dan Al-Rahim sebanyak 114 X, sama dengan 6 X 19. 
Huruf ق (qaf) yang merupakan awal dari surah ke 50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3x19.
Huruf-huruf kaf, ha', ya', 'ayn, shad, dalam surah maryam, ditemukan 78 kali atau 4x19.
Haruf ن  (nun) yang memulai surah al-Qalam, ditemukan sebanyak 133 atau 7x19. Kedua huruf ي  (ya') dan س (sin) pada surah Yasin masing-masing ditemukan sebanyak 285 atau 15x19. Kedua huruf ط (tha') dan هـ  (ha') pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali, sama dengan 19x18.
Huruf huruf (ha') dan م (mim) yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha'mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114x19, yakni masing-masing berjumlah 2.166.
Bilangan-bilangan ini, yang dapat ditemukan langsung dari celah ayat al-Qur'an, oleh Rasyad Khalifah, dijadikan sebagai bukti keontetikan al-Qur'an. Karena, seandainya ada ayat yang berkurang atau berlebih atau ditukar kata dalam kalimatnya dengan kata atau kalimat yang lain, maka tentu perkalian-perkalian tersebut akan menjadi kacau.
Angka 19 diatas, yang merupakan perkalian dari jumlah-jumlah yang disebut itu, diambil dari pernyataan al-Qur'an sendiri, yakni yang termuat dalam surah al-Muddatstsir ayat 30 yang turun dalam konteks ancaman terhadap seorang yang meragukan kebenaran al-Qur'an.
Demikianlah sebagian bukti keotentikannya yang terdapat di celah-celah kitab suci tersebut.
Abdurrazaq Nawfal, dalam al-I'jaz al-Adabiy li al-Qur'an al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan kata-kata dalam al-Qur'an yang dapat disimpulkan secara singkat sebagai berikut :
A.     Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya.
Beberapa contoh, diantaranya :
-          Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
-          Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
-          Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;
-          Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyiat (keburukan), masing-masing 167 kali;
-          Al-tuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;
-          Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
-          Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman), dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;
-          Kufr (kekufuran) dan iman (iman), dan dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
-          Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali;
B.     keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/  makna yang dikandungnya.
-          Al-harts dan al-zira'ah (membajak/ bertani), masing-masing 14 kali;
-          Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/ angkuh), masing-masing 27 kali;
-          Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/ mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
-Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-islam (al-Qur'an, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
-            Al-aql dan al-Nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
-            Al-jahr dan al-alamiyah (nyata), masing-masing 16 kali.
C.  Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
-Al-infaq (infak) dengan al-ridlo (kerelaan), masing-masing 73 kali;
-Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
-            Al-kafiruun (orang-orang kafir) dengan al-nar/ al-ahlaq (neraka/pembakaran), masing-masing 154 kali;
-            Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;
-            Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.

D.    Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
-  Al-Israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesahan), masing-masing 23 kali;
-  Al-maw'izhah (nasehat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
-  Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;
-  Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
E.     Disamping keseimbangan-kesemangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
(1)   kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal 360 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yamg menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya 30, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Di sisi lain, berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat 12 kali sama dengan jumlah  bulan dalam setahun.
(2) Al-Qur'an menjelaskan bahwa langit ada "tujuh". Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
(3)   Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.

Bukti-bukti kesejarahan
Al-Qur'an Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut sementara ulama, 22 tahun, 2 bulan dan 22hari.
Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus dikemukakan dalam rangka pembicaraan kita ini, yang merupakan faktor-faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas al-Qur'an.
(1)   Masyarakat Arab, yang hidup pada masa turunnya al-Qur'an, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis. Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan, orang Arab - bahkan sampai kini - dikenal sangat kuat.
(2)   Masyarakat Arab - khsususnya pada masa turunnya al-Qur'an - dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
(3)   Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusastraan; mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
(4)   Al-Qur'an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an yang dibaca oleh kaum muslim. Kaum muslim, disamping mengagumi keindahan bahasa al-Qur'an, juga mengagumi kandungannya serta meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur'an adalah petunjuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
(5)   Al-Qur'an, demikian pula Rasul SAW., menganjurkan kepada kaum muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari al-Qur'an dan anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat.
(6)   Ayat-ayat al-Qur'an turun berdialoq dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Disamping itu, ayat-ayat al-Qur'an turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.
(7)   Dalam al-Qur'an, demikian pula hadits-hadits Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita - lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.

OTORITAS AL-QUR'AN
Kehujjahan al-Qur'an al-Karim
Para ulama sepakat menyatakan bahwa al-Qur'an itu merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-Qur'an. Apabila hukum permasalahan  yang ia cari tidak ditemukan dalam al-Qur'an, maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil lain. Ada beberapa alasan yan dikemukakan ulama Ushul Fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan al-Qur'an diantaranya adalah:
1.      Al-Qur'an itu diturunkan kepada Rasulullah SAW. diketahui secara mutawatir, dan ini memberi keyakinan bahwa al-Qur'an itu benar-benar datang dari Allah melalui malaikat Jibril kepada Muhammad SAW. yang dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.
2.      Banyak ayat yang menyatakan bahwa al-Qur'an itu datangnya dari Allah, diantaranya dalam surat Ali Imran, 3: 3:
نزل عليك الكتاب بالحق مصدقالما بين يديه وانزل التوراة والانجيل.
"Dia menurunkan al-Qur'an kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil."
Surat al-Nisa', 4: 105:
انا نزلنا اليك الكتاب بالحق
"Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab (al-Qur'an) kepadamu dengan membawa kebenaran…
surat al-Nahl, 16: 89:
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين
"Dan kami turunkan kepadamu al-Qur'an untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

3.      Mu'jizat al-Qur'an juga merupakan dalil yang pasti akan kebenaran al-Qur'an itu datangnya dari Allah SWT mu'jizat al-Qur'an bertujuan untuk menjelaskan kebanaran Nabi SAW. yang membawa risalah ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasan umat manusia. Mu'jizat al-Qur'an menurut para ahli Ushul Fuqh dan tafsir terlihat ketika ada tantangan dari berbagai pihak untuk menandingi al-Qur'an itu sendiri, sehingga para ahli sastra arab dimana dan kapan pun tidak bisa menandinginya. Kemu'jizatan al-Qur'an,[9] menurut para ahli Ushul Fiqh, akan terlihat dengan jelas apabila:
a.       adanya tantangan dari pihak manapun,
b.      ada unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut, seperti tantangan orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran al-Qur'an dan kerasulan Muhammad SAW, dan
c.       tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.
Unsur-unsur yang membuat al-Qur'an itu menjadi mu'jizat yang tidak mampu ditandingi akal manusia, diantaranya adalah:
1.      Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, diantaranya seperti: al-hayah (hidup) dan al-maut (mati), dalam bentuk difinite sama-sama berjumlah 145 kali; al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) sama-sama terulang dalam al-Qur'an sebanyak 17 kali.
2.      Dari segi pemberitaan-pemberitaan ghaib yang dipaparkan al-Qur'an, seperti dalam surat Yunus, 10: 92: dikatakan bahwa "badan fir'aun berikutnya akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya", yang ternyata pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir'aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa.
Hukum-hukum yang Dikandung al-Qur'an
Para ulama Ushul Fiqh menginduksi hukum hukum yang dikandung al-Qur'an terdiri atas:[10]  
1.      Hukum-hukum I'tiqad, yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan Hari kiamat.
2.      Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.
3.      Hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara sesama manusia. Hukum-hukum praktis ini dibagi menjadi:
a.    hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nazar, dan sumpah;
b.    hukum-hukum yang berkaitan dengan mu'amalah, seperti berbagai transaksi jual beli, sewa menyewa,  pinjam meminjam, yang dibagi lagi kepada :
1.      Hukum-hukum perorangan, seperti kawin, talaq, waris, wasiat, waqaf,dan
2.      Hukum-hukum perdata, seperti jual beli, pinjam meminjam, perserikatan dagang, dan transaksi harta dan hak lainnya;
c.       hukum-hukum yang berkaitan dengan pidana;
d.   hukum-hukum yang berkaitan dengan peradilan, baik yang bersifat perdata maupun yang bersifat pidana;
e.    hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ketatanegaraan;
f.     hukum-hukum yng berkaitan dengan antar negara; dan
g.    hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi, baik bersifat pribadi, masyarakat, maupun negara.
Penjelasan Al-Qur'an Terhadap Hukum-hukum
Para ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam telah menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:[11]
1.      Penjelasan rinci (juz'i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah 'aqidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli Ushul Fiqh, disebut sebagai hukum ta'abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
2.      Penjelasan al-Qur'an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum, dan mutlak seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali sehari dikerjakan, berapa raka'at untuk sekali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan  secara rinci benda-benda yang wajib dizakatkan, berapa nishab zakat, dan berapa kadar yang harus dizakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum, dan mutlak ini, Rasulullah SAW., melalui sunnahnya bertugas menjelaskan, mengkhususkan dan membatasinya. Hal inilah yang diungkapkan al-Qur'an dalam surat al-Nahl, 16: 44:
وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم.
"Dan kami turunkan kepada engkau (Muhammad) al-Qur'an agar dapat engkau jelaskan kepada mereka apa-apa yang diturunkan Allah kepada mereka…



Dalalah al-Qur'an terhadap Hukum-hukum
Al-Qur'an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath'i (pasti), akan tetapi hukum-hukum yang dikandung al-Qur'an adakalnya bersifat qath'i  dan adakalnya bersifat Zhanni (relatif benar).[12]
Ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini, misalnya, ayat-ayat waris, hudud dan kaffarat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Nisa', 4: 11:
يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الانثيين فان كن نساء فوق اثنتين فلهن ثلثا ما ترك وان كانت واحدة فلها النصف  
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu; bagian seorang anak lelaki sama dengan dua bagian anak perempuan, dan jika semuanya perempuan lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.
Contoh lain adalah surat al-Nur, 24: 2:
الزانية والزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera.
Dalam kaffarat sumpah Allah berfirman:
فصيام ثلاثة ايام
"…maka berpuasa selama tiga hari…
Bilangan-bilangan pada ketiga ayat diatas - bagian waris, seratus dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa tiga hari untuk kaffarat sumpah- menurut para ulama Ushul Fiqh, mengandung hukum yang qath'i dan tidak bisa dipahami dengan pengertia lain.
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum Zhanni adalah lafal yang dalam al-Qur'an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafad musytarak (mengandung pengertian ganda), yaitu kata quru' (yang terdapat dalam surat al-Baqarah ,2: 228. Kata quru' merupakan lafad musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru' diartika dengan suci, sebagaiman yang di anut ulama Syafi'iyyah, adalah boleh (benar), dan jika diartikan dengan haid juga boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama Hanafiyyah. Contoh lain adalah firman Allah dalam surat al-Maidah , 5: 38:
السارق والسارقة فاقطعوا ايديهما جزاء بما كسبا
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan…
Kata "tangan" dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kakan atau tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Penjelasan untuk yang dimaksud dengan "tangan" ini ditentukan dalam hadits Rasulullah SAW. kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini, quru' dalam ayat pertama dan "tangan" pada ayat kedua, menurut para ulama Ushul Fiqh bersifat zhanni (relatif benar). Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang mana yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.  


  


* Disampaikan dalam pelatihan dan kaderisasi ASWAJA yang diselenggarajan oleh PCNU Jember pada hari Ahad 1 Mei 2005.
** Wakil Katib Syuriah PCNU Jember, Pelayan santri PP "Darul Arifin" Curahkalong Bangsalsari Jember, Dosen Tetap STAIN Jember, yang kini sedang menempuh Program Doktor di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[1] Az-Zarqa>ni, Mana>hil, Vol.I, 43-47, bandingkan dengan Abu> Syahbah, al-Madkhal, 19-20.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4]  M. ‘Ali al-Sha>bu>ni, al-Tibya>n, 8. Menurutnya definisi ini merupakan kata sepakat antara para ahli al_Qur’an dan ahli Ushul Fiqh.
[5] Al-Jurjani, al-Ta’rifat (Jeddah : al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.t. ) 174.
[6] Abu Syahbah, al-Madkhal, 7.
[7] Muhammad Husein al-Thabathabaiy, al-Qur'an fi al-Islam, Markas I'lam al-Dzikra al-Kanisa li intizhar al-Tswarah al-Islamiyah, Teheran, hlm. 175.
[8] Mustafa Mahmud, Min asrar al-Qur'an, Dar al-Ma'arif, Mesir, 1981, hlm. 64-65.
[9] Lihat al-Baqillani, I'jaz al-Qur'an, Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1978 hlm. 33-50.
[10] 'Abdul Wahhab Khalaf, 'ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1983, hlm. 33.  
[11]Zakiyuddin Sya'ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta'lif, 1961, hlm. 144.
[12]. Zakiyyudin Sya'ban., Op. Cit. Dan 'Abdul wahhab al-Khalaf ., Op., Cit., hlm. 37

Tidak ada komentar: