Sabtu, 05 Maret 2011

ijtihad


MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqhi yang dibimbing oleh
Bpk. Hefni Zain. S. Ag



 








Disusun oleh :
Kelompok 5

1.        Agus Bonggo Pribadi ( KPI )
NIM : 082 091 0
2.        Deni Kristiawan ( KPI )
NIM : 082 091 032
3.        Siti Lutfiyah ( KPI )
NIM : 082 091 0
4.        M. Rohin Ahmad Ahyani ( PAI )
NIM : 084 091 1
5.        Sakina Alkaf  H. F ( PAI )
NIM : 084 091 186

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JEMBER
2010
DAFTAR ISI
  1. Daftar Isi …………………………………………………….2
  2. BAB I Pendahuluan ….…………………….………………..3
- Latar Belakang ……………………………………..….......3
  1. BAB II Pembahasan
 - Pengertian Dan Dasar Hukum Ijtihad …………………….4
             - Sebab Muncul Dan Berkembangnya Ijtihad …………..….5
             - Dasar Hukum Ijtihad…………………………………...….6
       - Ruang Lingkup Ijtihad ……………………………..……..7
       - Syarat - Syarat Berijtihad …………………..…………......8
       - Hukum Ijtihad ….……………………………………..…..9
             - Tingkatan Mujtahid………………………………..…....…9
 - Masa Berlakunya Ijtihad …………………………….…...10
4.    BAB III Penutup ……………………………………….…..14

 













BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik didalam al – qur’an maupun didalam as – sunnah. Karenanya, islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Banyak ayat – ayat al – qur’an maupun as – sunnah yang memberikan isyarat mengenai ijtihad ini, antara lain :
Dalam surat an nisa’ ayat 105 alloh swt berfirman :
انا انزلنا اليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما ار ك الله قلى                                                       
Artinya : sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang alloh telah wahyukan kepadamu……
Dalam sebuah hadist, nabi muhammad saw, menyatakan :
اذا حكم الحاكم فجتهد فاصاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطا فله اجر واحد
Artinya : “ apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala “.
Ijtihad sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peranan yang sangat penting dalam menetapkan status hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci baik dalam al – qur’an maupun as – sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad masalah – masalah yang  belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
Hasil ijtihad terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya mungkin berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang terhadap masalah yang dicarikan hukumnya, kondisi masyarakat, dan latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki berbeda. (1)















(1)     Lihat buku fiqih madrasah aliyah kelas tiga, karya Drs.H.M. Suparta, MA dan Drs. Djedjen Zainuddin, Jakarta, Mei 2003.

 
 



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Ijtihad
    1. Menurut Bahasa ( Lughoh )
Kata ijtihad berasal dari     اجتهد – يجتهد – اجتهاد
Artinya : “ bersungguh – sungguh, rajin, giat “.(1)
       Kata ijtihad juga berasal dari     الجهد  ( dengan dhommah huruf jimnya )  yang artinya                                          : daya, kemampuan, kekuatan ( الطا قة ) atau (dengan fathah huruf jimnya ) yang artinya : kesulitan atau kesukaran ( المشقة ).
Jadi ada 2 unsur pokok dalam pengertian ijtihad, yaitu :
1.      Daya atau kemampuan, meliputi fisik – material, mental – spiritual, intelektual.
2.      Obyek yang sulit dan berat. (5)
Kata الجهد   tidak dapat di gunakan kecuali dalam hal – hal yang mengandung unsur – unsur yang memberatkan atau menyulitkan.
Contoh :اجتهد الرجل في حمل الرحى            
 “ Seorang laki – laki berusaha keras untuk membawa batu besar “
Dan tidak tepat kalau kata itu dipakai dalam kalimat :
اجتهد الرجل في حمل خردلة 
“ Seorang laki – laki berusaha keras untuk mengangkat biji bayam”.(2)
    1. Menurut Istilah para ahli ushul, ada beberapa pengertian tentang ijtihad, diantaranya :
1.      Menurut Al - Baidhowi ( Abdulloh Ibn Umar Ibnu Muhammad Al – Syirozi Al – Baidhowi Al – Syafi’i )
الإجتهاد هو استفراغ الجهد في درك الأحكام             
“ Ijtihad itu adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggali `hukum – hukum syari’at “.
2.      Menurut Ibnu Al – Hajib ( Utsman Bin Amar Bin Abi Bakar Ibn Yunus Abu Umar Ibn Al – Hajib).
استفراغ الفقيه الو سع لتحصيل ظن بحكم شرعي
“ Pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh seorang ahli fiqih untuk mendapatkan suatu tahap dugaan kuat terhadap adanya sebuah ketetapan syari’at.”
3.      Menurut Ulama’ Hanafiyah
بذل المجهود لنيل المقصود
“ Mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai tujuan.”
4.      Menurut Ibnu Qudamah ( Abdulloh Ibn Ahmad Ibn Qudamah Al – Maqdisi Al – Hambali ). (2)
بذل الجهد في العلم باحكام الشرع
“ Mengerahkan kemampuan untuk mengetahui ketetapan – ketetapan syara’ “(3)
5.      Menurut Al – Ghozali ( Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al – Ghozali  Al – Syafi’i ).(5)
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم باحكام الشريعة
“ Pengerahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum – hukum syari’at. “
6.      Al – Amidi Al – Syafi’i
استفراغ الوسع في طلب الظن بشئ من الأحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجزعن المزيد فيه
“ Mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum – hukum syarak yang bersifat dzonni, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.”(5)
Kesimpulannya : Bahwa ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan yang dilakukan untuk menggali hukum oleh seorang mujtahid yang terdapat pada dalil – dalil syara’ yang bersifat dzonny ( lebih dari satu interpretasi / tafsiran ) guna untuk mendapatkan pengetahuan hukum – hukum syari’at.
2.      Sebab Muncul dan Tumbuhnya Ijtihad (2)
    1. Ijtihad Pada Masa Rosululloh Saw.
Abnu Al – Qoyyim berkata : “ Pada jaman Nabi Saw, sesungguhnya para sahabat telah melakukan ijtihad mengenai banyak ketetapan hukum.
Seperti terdapat dalam hadist dari Ibnu Umar, ia berkata : “ Rosululloh Saw, telah memanggil kami pada hari selesainya perang ahzab.” ( beliau berkata ), jangan ada seorang pun melakukan sholat zuhur melainkan di ( benteng ) bani quroizhoh.’ Lalu orang – orang ( para sahabat ) khawatir kehabisan waktu, maka mereka melakukan sholat sebelum sampai di ( benteng ) bani quroidzoh,” sedang sebagian yang lain ( berkata ) : “ kami tidak akan sholat melainkan seperti yang diperintahkan oleh Rosululloh Saw, kepada kami meski kami kehabisan waktu. “ ibn umar berkata : “ Nabi Saw tidak mencela seorang pun dari dua kelompok itu. (6)
    1. Ijtihad Pada Masa Sahabat
Setelah Rosululloh Saw wafat, para sahabat terus melestarikan semua apa yang diajarkan oleh Rosululloh, setelah itu adanya perluasan wilayah dan pergesekan antara orang – orang arab dan non arab menyebabkan munculnya persoalan baru yang belum ada kejelasan dalam nash untuk menentukan hukumnya.
Akhirnya para sahabat menggunakan metode untuk menyelesaikan permasalahan pada masa mereka yaitu :
1.      Mencari jawabannya dari Kitab Alloh Swt, jika tidak ditemukan
2.      Lalu dicari dalam Sunnah Rosul Saw, jika tidak mereka dapati
3.      maka mereka mengumpulkan orang – orang Muhajirin dan Anshor yang ahli dalam menggunakan ro’yi serta terpercaya. Apabila mereka sepakat maka pendapat tersebut ditetapkan sebagai keputusan hukm yang sah.
    1. Ijtihad Pada Masa Tabi’in
Mereka ini belajar fiqih langsung pada sahabat sampai selesai, mereka meniru dasar – dasar dan cara – cara yang ditempuh oleh para sahabat.
    1. Ijtihad Pada Masa Tabi’i At – Tabi’iin
Pada masa ini banyak sekali masalah – masalah baru yang bermunculan itu semua diakibatkan karena adanya perubahan politik dan peralihan khilafah antara bani umayyah dan bani abbasiyah, pada masa bani abbasiyah inilah keperdulian yang besar terhadap hukum – hukum islam itu muncul dan berkembang.
Itu dapat dibuktikan dengan adanya kemunculan metode dalam ijtihad, diantaranya yaitu :
1.      Ijtihad Ahli Ro’yi, yang tumbuh dan berkembang di irak.
Metode ini dipimpin oleh imam abu hanifah.
2.      Ijtihad Ahli Hadist, yang tumbuh dan berkembang di hijaz.
Metode ini dipimpin oleh imam malik bin anas.
Pada masa ini pula dilakukan pembukuan sunnah dan sejumlah ilmu serta lahirlah imam – imam mujtahid.
Pegangan para imam mazdhab 4  dalam berijtihad :
a. Imam Abu Hanifah
1.      Kitab alloh                              4.  Ijma’
2.      Sunnah rosul                           5. Qiyas
3.      Perkataan sahabat                   6. Istihsan
b. Imam Malik Bin Anas
1.      Kitab alloh                              5. Maslahah mursalah
2.      Sunnah rosul saw                   6. Sadd al – dzara’i
3.      Amalan penduduk madinah    7. Syar’u man qoblana
4.      Perkataan sahabat                   8. Istihsan
c. Imam Syafi’i
1.      Kitab alloh                              4. Pendapat shahabat
2.      Sunnah rosulnya                      5. Perselisihan pendapat para sahabat
3.      Ijma’                                        6. Qiyas
d. Imam Ahmad Ibnu Hanbal
1.      Kitab alloh                              4. Perselisihan pendapat para sahabat
2.      Sunnah rosulnya                      5. Hadist dho’if dan mursal
3.      Pendapat sahabat                    6. Qiyas
3.      Dasar Hukum Ijtihad
Dalil tentang ijtihad (2)
    1. Terdapat Dalam Al – Qur’an
1.      Surat Ar – Ra’d Ayat 3
2.      Surat Al – Ruum Ayat 21
3.      Surat Al – Zumar Ayat 42
4.      Surat Al – Jatsiyah Ayat 13
5.      Surat Al – Hasyr Ayat 2
6.      Surat An – Nisa’ Ayat 105
7.      Surat Ali Imron Ayat 159
    1. Terdapat Dalam Hadist
Keberadaan sistem penalaran, jauh sebelumnya sudah diisyaratkan oleh nabi saw, sebagaimana yang terungkap dalam peristiwa sholat asar di bani quroidhoh. Sebuah haidst yang mashhur dikalangan kaum muslimin menyebutan :
Ketika shohabat Muadz bin jabal diutus sebagai qodli (hakim) oleh Nabi Saw di negeri Yaman, oleh Nabi Saw ditanyakan :
            Nabi saw                     : “ wahai Muadz, bagaimanakah sikapmu dalam mengambil    keputusan jika dihadapkan sebuah permasalahan hukum ?
Mu’adz                        : “ akan aku putuskan dengan kitabulloh.
Nabi saw                     : “ jika didalamnya tidak kau temui ?
Mu’adz                        : “ akan aku putuskan dengan sunah rosul.
Nabi saw                     : “ jika tidak kau dapati ?
Mu’adz                        : “ aku akan brijtihad sesuai dengan kemampuanku.
Jawaban – jawaban mu’adz tersebut mendapat pujian dari nabi saw. (3)
Dan dalam sebuah hadist nabi muhammad saw, menyatakan :
اذا حكم الحاكم فجتهد فاصاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطا فله اجر واحد
Artinya : “ apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala “. (1)
Ada riwayat tentang perkataan 4 Imam Mazhab :
  1. Imam Abu Hanifah ( Abu Hanifah Al – Nu’man Ibn Tsabit Ibn Al Nu’man Al Kufi ).
Ia berkata : “ seseorang tidak dibenarkan mengikuti pendapat kami sebelum ia tahu persis dasar pendapat tersebut.”
  1. Imam Malik ( Malik Ibn Anas Ibn Amr Al – Ashbahi )
Ia berkata : “ aku ini adalah tak lain adalah manusia biasa, aku bisa salah dan bisa benar, karena itu perhatikanlah baik – baik pendapatku, dan semua yang sesuai dengan kitab allah dan sunnah rosulnya silahkan kamu ambil, dan semua yang tidak sesuai dengan kitab allah dan rosulnya tinggalkanlah !
  1. Imam Syafi’i ( Muhammad Bin Idris Asy – Syafi’i )
ia berkata : “ perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa hujjah sama dengan orang mencari kayu bakar di malam hari. Ia pikul ikatan kayu yang didalamnya ada ular berbisa yang akan menggigitnya sedang ia sendiri tidak mengetahuinya.”
  1. Imam Ahmad Ibn Hanbal
Ia berkata : “ janganlah kamu bertaqlid kepada siapapun dalam masalah agamamu. “ (2)
4.      Ruang Lingkup Ijtihad
Hukum islam ‘amali dibagi menjadi dua :
a. Al – Qoth’iyyah, yaitu hukum – hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil – dalil yang tegas dan kongkret serta tidak mengandung kemungkinan untuk diberikan penafsiran logika. Hukum seperti ini berlaku abadi, universal, dan tidak dapat diubah. Ia bukan garapan mujtahid.
Contoh dalam bidang ini adalah jumlah bilangan sholat wajib, puasa bulan romadhon, zakat, keharaman perzinaan dan semua bentuk kejahatan lainnya, serta hukum–hukum yang menjadi keharusan untuk diketahui oleh kaum muslimin. Bidang tersebut tidak boleh disentuh oleh kajian ijtihad. Sholat Dzuhur yang roka’atnya empat dengan dalil apapun tidak bisa dirubah menjadi tiga atau lima roka’at. Kewajiban sholat jum’at, karena tidak bertepatan dengan hari libur kerja, maka harus dipindah pada hari minggu, misalnya : puasa romadhon ditukar saja dengan bulan yang lain saja dan sebagainya. Hal itu bukan karena ijtihad : kalau Allah Swt sudah menetapkan hari jum’at atau puasa bulan romadhon, kita semua harus menerimanya.
b.      Adz – Dzonniyyah, lawan dari qoth’iyyah diatas. Inilah yang menjadi ruang lingkup kajian ijtihad. Dalam masalah dzonniyyah, dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu ia bersifat mukhtalaf faih, menampung terjadinya perbedaan pendapat dikalangan mujtahid. Dengan demikian, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan ketentuan hukum yang tidak qoth’iyyah. Disini pula letak kemudahan penerapannya atas beberapa kondisi dan situasi, baik yang menyangkut perseorangan maupun masyarakat, yang senantiasa berubah dan berkembang.  (4)
Seperti lafadz  القرء yang terdapat pada firman allah swt :     
والمطلقات يتربصن با نفسهن ثلا ثة قروء
Apakah kata tersebut berarti haidh atau suci ? (2)
5.      Syarat – Syarat Berijtihad.
Ijtihad itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat – syarat ijtihad dipenuhi. Syarat – syarat tersebut terbagi menjadi tiga : yaitu
a.      Syarat – Syarat Umum.
1.      Baligh
2.      Berakal sehat
3.      Memahami masalah.
4.      Islam, dan beriman
b.      Syarat – Syarat Khusus.
1.      Mengetahui ayat – ayat Al – qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, yang dalam hal ini, ayat – ayat Ahkam, Mutasyabih, Asbabun Nuzul, Nasikh Mansukh dan sebagainya.
2.      Mengetahui isi kandungan sunnah – sunnah Nabi Saw, yang berkaitan dengan masalah yang dianalis, Asbabul Wurud, pembagian hadits dan dapat mengemukakan hadist – hadist dari berbagai kitab hadist, seperti Kitab Shohih Muslim, Shohih Bukhori dan lain – lain.
3.      Mengetahui perkatan – perkataan Sahabat, dan Tabi’in tentang berbagai hukum dan sebagian fatwa fuqoha’ agar kepatutan fatwanya tidak bertentangan dengan pendapat – pendapat mereka.
4.      Mengetahui Qowa’idul Fiqihiyyah yang diistimbathkan dari dalil – dalil syara’.
5.      Mengetahui kaidah – kaidah bahasa arab, yaitu Nahwu, Shorof, Balaghoh, dan Mantiq dan sebagainya.
6.      Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih, yang meliputi dalil – dalil syar’i dan cara – cara mengistinbathkan hukum.
c.       Syarat – Syarat Pelengkap.
1.      Mengetahui bahwa tidak ada dalil qoth’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
2.      Mengetahui masalah – masalah yang diperselisihkan oleh ulama’ dan yang akan mereka sepakati.
3.      Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat muthlaq. (1)
Syarat lainnya seorang mujtahid harus mempunyai moral yang tinggi, sifat – sifat terpuji, taqwa dan sadar, bahwa kedudukannya sebagai pemberi fatwa, adalah kedudukan yang sangat mulia. Karena itu ia tidak boleh memutuskan hukum berdasarkan hawa nafsunya, dan tidak menjual agamanya untuk kepentingan duniawi.
6.      Hukum Ijtihad.
Menurut syech muhammad khudhory, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi :
a.       Wajib ‘Ain, yaitu apabila seorang mujtahid dihadapkan pada peristiwa baru dan ia tidak mengetahui hukumnya, atau apabila ia ditanyakan mengenai suatu masalah atau peristiwa yang terjadi dan tidak ada mujtahid lain selain dia.
b.      Wajib Kifayah, apabila seseorang ditanya mengenai sesuatu masalah, dan masalah itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya. Sedang selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dam menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lainnya telah gugur, artinya ijtihad satu mujtahid telah membebaskan beban kewajiban berijtihad mujtahid yang lain. Namun bila tak seorangpun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid itu.
c.       Sunnah/Manduub/Dianjurkan, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum pernah terjadi, tetapi boleh jadi ia akan terjadi dalam waktu dekat. (3)
d.      Haram, jika hasil ijtihadnya itu tidak sesuai dengan al – qur’an dan al – hadist yang pasti, atau bertentangan dengan ijma’.
7.      Tingkatan Mujtahid.
Tingkatan ini tergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri, secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelopokkan menjadi :
a.       Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil.
Yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’ tanpa terikat kepada madzhab apapun. Bahka dia justru menjadi pendiri madzhab, seperti : Imam Hanafi, Maliki, Syafi’, dan Ahmad Ibnu Hambal, nama lain dari mujtahid ini adalah Mujtahid Fard ( perorangan ). Mereka itu melakukan ijtihad berdasarkan kemampuan ilmiyah serta syarat yang mereka miliki.
b.      Mujtahid Muntasib
Yaitu mujtahid yang memiliki syarat – syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab itu. Sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut. Yang tergolong tingkatan ini yaitu : dari golongan imam Abu Hanifah : Abu Yusuf ( 113 – 183 H ), Muhammad ( 132 – 189  H ), Zufar ( 110 – 157 H ), Dari Golongan Imam Malik : Ibn Al – Qosim ( W – 191 H ), Asyhab ( 140 – 204 H ), Dari Golongan Imam Syafi’i : ( Al – Buwaithi ( W – 231 H ), Al – Za’faroni ( W – 306 H ), Al – Muzani ( 175 – 264 H ).
c.       Mujtahid fil madzahib atau mujtahid muqoyyad.
Yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya mengikuti kaidah yang  digunakan oleh imam madzhabnya dan ia juga mengikuti imam madzhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad sendiri ketika imam mazhabnya tidak membahas suatu permasalahan. Yang tergolong tingkatan ini yaitu : dari Mazhab Hanafi : Hasan Ibn Ziyad (W – 240 H ), Al – Karkhi ( 260 – 340 H ), Al – Syarokhsi ( W – 418 H ), Dari Mazhab Maliki : Al – Abhari ( W – 395 H ), Ibn Abi Yazid ( W – 386 H ), Dari Mazhab Syafi’i : Abu Ishaq Al – Syirozi ( W – 476 H ), Dan Al – Mawarzi ( W – 462 H ). 
d.      Mujtahid murojjih.
Yaitu mujtahhid yang dalam menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan kepada hasil tarjih ( memilih yang lebih kuat ) dari pendapat imam – imam madzhabnya. Dari golongan tingkat ini yaitu : dari golongan Madzhab Hanafi : Al – Qoduri ( W – 427 H ), Al – Marginani ( W – 593 H ). (1)
8.      Masa Berlakunya Ijtihad.
            Apakah ijtihad itu telah terputus ?
   Jawaban yang benar yang didukung oleh dalil – dalil naql dan akal ialah, bahwa ijtihad itu akan tetap ada sampai terjadinya kiamat besar. Ia tidak boleh terputus. Diantara alasannya ialah sabda rosulillah saw :
لا تزال طا ئفة من امتي ظا هرين على الحق لا يضرهم من خذ لهم حتى ياتي امرالله
   Artinya :“ Akan tetap ada segolongan dari umatku yang berjuang menegakkan yang hak, mereka tidak dapat dibinasakan oleh orang yang ingin mengalahkan mereka sampai hari kiamat.”
   Memperjuangkan yang hak tak mungkin berhasil tanpa ilmu, dan tak ada ilmu tanpa ijtihad. Disamping itu, jika masa itu hampa akan mujtahid, maka akan terjadi kesepakatan akan kesesatan antara penduduk, padahal kesepakatan akan kesesatan itu adalah terlarang, karena Rosul Saw telah bersabda :
لاتجتمع امتي على ضلا لة






















BAB III
PENUTUP
Diakhir pembahasan ini ingin saya katakan : bahwa ijtihad itu adalah sangat perlu dan mesti ada pada setiap waktu, tentunya apabila syarat – syaratnya telah terpenuhi untuk mengetahui hukum dari peristiwa – peristiwa yang datang silih berganti, ini membuktikan adanya keluwesan dari syari’at serta kemampuannya dalam memenuhi tuntutan – tuntutan kehidupan manusia dengan berbagai jenisnya. Umat islam dewasa ini telah kehilangan semangat dan rela membiarkan dirinya bertaqlid, padahal ijtihad dewasa ini lebiih memungkinkan dibandingkan dengan masa dahulu. Sudah pasti mereka berdosa seluruhnya karena meninggalkan wajib kifayah.
                  Demikianlah makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas dari bpk, selaku dosen pengampu mata kuliah ushul fiqih, semoga semua yang terkait dengan penulisan tugas ini, bisa bermanfaat bagi kami khususnya sebagai penulis dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penggarapan tugas ini dan semoga kita dalam lindungan Allah swt, dan kami mengharap kita selalu kompak dalam kondisi dan situasi apapun dan dimanpun, amin ya robbal ‘alamiin.





















DAFTAR PUSTAKA
  1. Drs.H.M. Suparta, MA Dan Drs. Djedjen Zainuddin, Buku Fiqih Madrasah Aliyah Kelas Tiga, Jakarta, Mei 2003.
  2. Dzarwy, DR.Ahmad Ibrahim Abbas Al-, Tarjamah Nadzariyyatu Al Ijtihad Fi Asysya Al Islamiyah, Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam, Darul Syuruk, Jeddah 1983
  3. Drs.  H. Zaini Muchtarom, M.A, Buku Ushul Fiqih Jilid 2, Direktorat Pembinaan PTAI
  4. Abul Hiyadh, Pengantar Terjemah Kitab Fathul Mu’in, Ijtihad, Jajdid, Dan Isu Kebebasan Berfikir.
  5. DR. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al – Syaukani, Relevansi Bagi Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia, , Cet – 1, Jakarta : Pt Logos Wacana Ilmu, 1999
  6. Nashr, Abdul Jalil isa Abu Al –, Tarjamah Buku Ijtihad Ar – Rosul, Muhammad Sebagai Seorang Mujtahid, Darul Bayan, Kuwait 1969, Yogyakarta : Cahya Hikmah, April 2004.
  7. Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta, UII Press, 2002



Tidak ada komentar: